Rabu, 30 April 2014

NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI


NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI


Disusun Oleh :
Rima Septiani
( NPM : 13.13101.10.06 )


Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, M.Sc


PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
                                                      TAHUN 2014


NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI
Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, Msc.

A. Teori-teori Etika lingkungan hidup
1. Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
           Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

2. Teori Ekosentrisme
Ekosentrisme Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
3. Teori Egosentris
Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan:
Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri
Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.

4. Teori Biosentrisme
Teori Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
            Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).  Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
5. Etika Homosentris
            Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar masyarakat manusia.
            Etika homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
            Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris, etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).
6. Etika Ekosentris
            Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran  etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243)
Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah  perah “homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:
  1. Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.
  2. Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
  3. Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
  4. Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
  5. Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.
            Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
  1. Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)
  2. Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
            Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto, 1992:22).
7. TEOSENTRISME
            Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

8. Teori  Nikomakea
Teori  Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori  Nikomakea memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan perilaku yang bajik.

9. Zoosentrisme
Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.

10. antroposentris
antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.   
  Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1.      Manusia terpisah dari alam,
2.      Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3.      Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4.      Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5.      Norma utama adalah untung rugi.
6.      Mengutamakan rencana jangka pendek.
7.      Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8.      Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi

B. Aplikasi Nilai Lingkungan Rumah Panen Hujan
Dari pengamatan yang kami lakukan, beberapa pelajaran/hasil yang dapat diambil yaitu:
      1. Nilai Ekonomis
Ø  Pembuatan kolam ikan dimana tanah galian untuk pembuatan kolam ikan tersebut dimanfaatkan untuk penimbunan tanah sekitar sehingga dapat mengurangi biaya penimbunan.
Ø  Ikan yang terdapat di kolam dapat dikonsumsi sendiri atau dijual.
Ø  Budidaya tanaman/bunga dapat dimanfaatkan sendiri juga dapat dijual.
Ø  Pemanfaatan air hujan yang ditampung pada bak belakang rumah untuk keperluan dapat menghemat pemakaian air yang berasal dari PDAM.
Ø  Pemanfaatan cahaya matahari ke dalam rumah pada taman didalam rumah yang beratapkan jaring2 kecil untuk penerangan dalam rumah sehingga menghemat listrik.

2. Nilai Ekologis
Ø  Kolam ikan yang ditaburi dengan EM4 sehingga lingkungan ekologisnya terjaga serta dapat menghasilkan ikan yang lebih berkualitas.
Ø  Air hujan yang ditampung dapat didistribusikan pada saat dibutuhkan ke bagian/areal yang lain.
Ø  Dengan banyaknya pohon-pohon sehingga menurunkan kadar CO 2 sehingga mengurangi pencemaran udara.
Ø  Tumbuh-tumbuhan membentuk humus sehingga dapat menyimpan air tanah dan mencegah erosi.

3. Nilai Biologis
Ø  Kolam ikan bisa berfungsi sebagai tempat penyerapan air.
Ø  Adanya tanaman/bunga dapat menyejukkan mata sehingga berfungsi sebagai terapi mata (eye therapy).
Ø  Banyaknya tanaman dapat menghasilkan oksigen sehingga menimbulkan udara yang segar dan sehat.
Ø  Adanya green house yang berisikan berbagai macam jenis bunga, misalnya tanaman anggrek.
Ø  Adanya sistem penyaringan air dengan menggunakan saringan ijuk,    pasir,arang,koral dan bata memenuhi syarat air bersih untuk kesehatan.

4. Nilai Kesehatan
Ø  Adanya tanaman obat dihalaman misalnya brotowali dan asam Jawa.
Ø  Ikan di kolam dapat memakan jentik-jentik nyamuk sehingga mengurangi jumlah vektor penyakit.
Ø  Adanya sistem teras yang disusun koral-koral sedemikian rupa dapat digunakan untuk refleksi kaki atau olahraga untuk melancarkan sistem peredaran darah.
Ø  Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dapat menyehatkan lingkungan di dalam rumah, juga dapat membunuh kuman-kuman penyebab penyakit.

5. Nilai Sosiologis
Ø  Lingkungan baik,sehat dan nyaman dapat digunakan untuk tempat rekreasi,bersantai yang hemat dan berwawasan lingkungan misalnya kolam ikan baik untuk refreshing.
Ø  Konsep rumah dengan lingkungan alamnya yang luas serta banyaknya tanaman/bunga bisa dimanfaatkan untuk tempat istirahat dan rekreasi keluarga.
Ø  Lingkungan yang baik dapat memberikan contoh / terutama pendidikan pada anak-anak tentang ketertiban, ketentraman,keahlakan dan kelestarian lingkungan hidup.
Ø  Lingkungan / halaman yang luas dapat digunakan untuk berkumpul dan bersosialisasi pada suatu kegiatan misalnya arisan,kelompok pengajian bulanan.
Ø  Dapat memotivasi masyarakat / seseorang untuk mewujudkan harapan akan rumah sehat dan lingkungan sehat sesuai dengan apa yang diharapkan.

6. Nilai Estetika
Ø  Tanam-tanaman serta bunga yang terdapat di halaman dapat memperindah pemandangan.

Kesimpulan :
Rumah panen hujan tersebut menggunakan sistem penampungan air hujan seperti sumur, kolam penampung dan air terjun buatan serta beragam tanaman sebagai penyerapan air. Dan pemanfaatkan cahaya matahari sebagai penerangan yang hemat listrik. Tetapi rumah panen hujan tersebut terdapat kekurangan yaitu : gangguan alam, seperti petir yang bisa langsung masuk ke dalam rumah, hewan-hewan yang tidak diinginkan (nyamuk, ular, lalat, dll). Disini tidak terlihatnya saluran pembuangan air (got) limbah rumah tangga. Masih rentannya kecelakaan, keselamatan didalam rumah karena kolam belakang tidak ada pembatas.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar