NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI
Disusun Oleh
:
Rima
Septiani
( NPM : 13.13101.10.06
)
Dosen
Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, M.Sc
PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
TAHUN 2014
NILAI
DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI
Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, Msc.
A. Teori-teori Etika lingkungan hidup
1. Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
2. Teori Ekosentrisme
Ekosentrisme Berkaitan dengan etika lingkungan yang
lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada
biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika
pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara
ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu
sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya
dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga
berlaku terhadap semua realitas ekologis.
3. Teori Egosentris
Etika yang mendasarkan diri pada
berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada
keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik
untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah
baik untuk masyarakat. Orientasi etika
egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada
filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri
sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti
dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan:
Bahwa tindakan dari setiap orang
pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri
sendiri
Dengan demikian, etika egosentris
mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk
memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini didasarkan pada berbagai
pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial
liberal.
4. Teori Biosentrisme
Teori Biosentrisme mengagungkan
nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi
dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan
sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa
setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi
moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan
dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern
moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara
kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan
adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory
(hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land
ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment
(perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
5. Etika Homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian
masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial
dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar
masyarakat manusia.
Etika homosentris sama dengan etika
utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris mendasarkan penilaian
baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu bagi
individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan
itu berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin
orang. Etika homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme
etis. Disebut universalisme karena menekankan akibat baik yang berguna bagi
sebanyak mungkin orang dan etis karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut
utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan
kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi
pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian
organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara
organis dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh
pada bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang
utilitaris, etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber
alam dengan dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto,
1990:16).
6. Etika
Ekosentris
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini,
lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut
aliran etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang
paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis
ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang
paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup
sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda
kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto,
1992:243)
Menurut etika ini, bumi memperluas
berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau
secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah perah “homo sapiens” dari makhluk
komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat
terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J.
Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat
mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada
dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:
- Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.
- Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
- Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
- Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
- Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.
Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang
filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
- Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)
- Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang
beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe
pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan
(J. Sudriyanto, 1992:22).
7. TEOSENTRISME
Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan
lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Pada teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur
hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini
sudah ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana
(THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan
manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan
(Palemahan).
8. Teori Nikomakea
Teori Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah
karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang
memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh
buku yang menjadi etika ini didasarkan pada catatan-catatan dari
kuliah-kuliahnya di Lyceum dan
disunting atau dipersembahkan kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori Nikomakea memusatkan
perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak
yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis,
dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu
diambil. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah
tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat,
akan menghasilkan perilaku yang bajik.
9. Zoosentrisme
Zoosentrisme adalah etika yang
menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika
pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika
ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat
merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut
etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar
moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals,
perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan
binatang dengan penuh belas kasih.
10.
antroposentris
antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam
dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika
ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua
tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan
harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan
estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan
generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang
ditujukan untuk generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa
alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1.
Manusia terpisah dari alam,
2.
Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak
menekankan tanggung jawab manusia.
3.
Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat
keprihatinannya
4.
Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk
kepentingan manusia
5.
Norma utama adalah untung rugi.
6.
Mengutamakan rencana jangka pendek.
7.
Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah
penduduk khususnya dinegara miskin
8.
Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
B. Aplikasi
Nilai Lingkungan Rumah Panen Hujan
Dari pengamatan yang kami lakukan,
beberapa pelajaran/hasil yang dapat diambil yaitu:
1. Nilai
Ekonomis
Ø Pembuatan
kolam ikan dimana tanah galian untuk pembuatan kolam ikan tersebut dimanfaatkan
untuk penimbunan tanah sekitar sehingga dapat mengurangi biaya penimbunan.
Ø Ikan yang
terdapat di kolam dapat dikonsumsi sendiri atau dijual.
Ø Budidaya
tanaman/bunga dapat dimanfaatkan sendiri juga dapat dijual.
Ø Pemanfaatan
air hujan yang ditampung pada bak belakang rumah untuk keperluan dapat
menghemat pemakaian air yang berasal dari PDAM.
Ø Pemanfaatan
cahaya matahari ke dalam rumah pada taman didalam rumah yang beratapkan jaring2
kecil untuk penerangan dalam rumah sehingga menghemat listrik.
2. Nilai Ekologis
Ø Kolam ikan
yang ditaburi dengan EM4 sehingga lingkungan ekologisnya terjaga serta dapat
menghasilkan ikan yang lebih berkualitas.
Ø Air hujan
yang ditampung dapat didistribusikan pada saat dibutuhkan ke bagian/areal yang
lain.
Ø Dengan banyaknya pohon-pohon sehingga menurunkan kadar CO 2 sehingga
mengurangi pencemaran udara.
Ø Tumbuh-tumbuhan membentuk humus sehingga dapat menyimpan air tanah dan mencegah erosi.
3. Nilai Biologis
Ø Kolam ikan
bisa berfungsi sebagai tempat penyerapan air.
Ø Adanya tanaman/bunga
dapat menyejukkan mata sehingga berfungsi sebagai terapi mata (eye therapy).
Ø Banyaknya
tanaman dapat menghasilkan oksigen sehingga menimbulkan udara yang segar dan
sehat.
Ø Adanya green
house yang berisikan berbagai macam jenis bunga, misalnya tanaman anggrek.
Ø Adanya sistem penyaringan air dengan menggunakan saringan ijuk, pasir,arang,koral dan bata memenuhi syarat
air bersih untuk kesehatan.
4. Nilai Kesehatan
Ø Adanya tanaman obat dihalaman misalnya brotowali dan asam Jawa.
Ø Ikan di
kolam dapat memakan jentik-jentik nyamuk sehingga mengurangi jumlah vektor
penyakit.
Ø Adanya sistem teras yang disusun koral-koral sedemikian rupa dapat
digunakan untuk refleksi kaki atau olahraga untuk melancarkan sistem peredaran
darah.
Ø Cahaya
matahari yang masuk ke dalam rumah dapat menyehatkan lingkungan di dalam rumah,
juga dapat membunuh kuman-kuman penyebab penyakit.
5. Nilai Sosiologis
Ø Lingkungan baik,sehat dan nyaman dapat digunakan untuk tempat
rekreasi,bersantai yang hemat dan berwawasan lingkungan misalnya kolam ikan baik untuk refreshing.
Ø Konsep rumah
dengan lingkungan alamnya yang luas serta banyaknya tanaman/bunga bisa
dimanfaatkan untuk tempat istirahat dan rekreasi keluarga.
Ø Lingkungan yang baik dapat memberikan contoh / terutama pendidikan pada anak-anak
tentang ketertiban, ketentraman,keahlakan dan kelestarian lingkungan hidup.
Ø Lingkungan / halaman yang luas dapat digunakan untuk berkumpul dan
bersosialisasi pada suatu kegiatan misalnya arisan,kelompok pengajian bulanan.
Ø Dapat memotivasi masyarakat / seseorang untuk mewujudkan harapan akan rumah
sehat dan lingkungan sehat sesuai dengan apa yang diharapkan.
6. Nilai Estetika
Ø Tanam-tanaman
serta bunga yang terdapat di halaman dapat memperindah pemandangan.
Kesimpulan :
Rumah panen hujan tersebut
menggunakan sistem penampungan air hujan seperti sumur, kolam penampung dan air
terjun buatan serta beragam tanaman sebagai penyerapan air. Dan pemanfaatkan
cahaya matahari sebagai penerangan yang hemat listrik. Tetapi rumah panen hujan
tersebut terdapat kekurangan yaitu : gangguan alam, seperti petir yang bisa
langsung masuk ke dalam rumah, hewan-hewan yang tidak diinginkan (nyamuk, ular,
lalat, dll). Disini tidak terlihatnya saluran pembuangan air (got) limbah rumah
tangga. Masih rentannya kecelakaan, keselamatan didalam rumah karena kolam
belakang tidak ada pembatas.